Senin, 18 November 2013

tepung casava

Di pasar internasional, gaplek dikenal dengan nama dagang casava. Sementara pati singkong (tepung aci, tepung kanji) disebut sebagai tapioka. Masyarakat Jakarta malahan menyebut tepung aci ini sebagai “sagu”. Padahal jelas sekali perbedaan antara tepung sagu dengan pati singkong. Yang disebut gaplek adalah singkong (ketela pohon, ubi kayu = Manihot esculenta/Manihot utillisima) yang telah dikupas dan dikeringkan. Biasanya pengupasan dilakukan secara manual dengan pisau dan tangan. Sementara pengeringannya dilakukan dengan cara menjemurnya langsung di bawah panas matahari.
Tepung tapioka adalah pati singkong. Pati ini diperoleh melalui penghancuran singkong segar, pelarutan dengan air, pemerasan, pengendapan pati dan pengeringan. Masyarakat tradisional melakukan proses ini secara manual dengan mengupas singkong, memarutnya, memberinya air, memeras lalu mengendapkan air perasan hingga diperoleh pati yang kemudian dijemur sampai kering.

Meskipun singkong berasal dari Amerika tropis dan baru ditanam di Indonesia setelah kedatangan bangsa kulit putih, namun pengembangan dan pemanfaatannya sudah demikian luas. Di Jawa Tengah, terutama di kawasan-kawasan yang kering, gaplek merupakan komoditas pangan yang penting. Tepung gaplek yang diberi air dan dikukus akan menjadi tiwul, yang oleh sebagian masyarakat dijadikan makanan pokok. Apabila proses pengeringan gaplek tidak sempurna hingga berjamur (sebagian berwarna hitam dan cokelat) maka akan diperoleh komoditas yang dikenal sebagai “gatot”. Selain ditepungkan untuk bahan tiwul, gatot juga bisa direndam, dijadikan serpih kecil-kecil secara manual dan dikukus untuk langsung dikonsumsi.
Selain lebih lezat, gatot juga bergizi lebih baik karena jamur (kapang) yang merusak pati singkong tersebut justru menghasilkan protein dan asam amino yang sebelumnya tidak terdapat pada singkong. Proses pembuatan gatot sedikit lebih rumit dibandingkan dengan gaplek. Singkong yang telah dikupas, dijemur sebentar untuk mematikan sel-sel (jaringannya) tetapi jangan sampai kering. Biasanya penjemuran cukup dilakukan selama sehari sampai dua hari. Selanjutnya singkong diperam dalam wadah yang tertutup rapat sampai berjamur. Setelah itu singkong dijemur lagi sampai kering untuk disimpan sebagai gatot.

Dalam masyarakat modern, tepung casava adalah bahan pakan ternak yang cukup penting, terutama untuk ternak unggas. Bersamaan dengan jagung, bungkil, dedak, dan tepung ikan, gaplek merupakan bahan utama pakan unggas dan juga ternak ruminansia serta babi. Fungsi gaplek adalah sebagai sumber serat dan karbohidrat bermutu namun harganya murah. Karena singkong hanya bisa ditanam di kawasan tropis, maka kebutuhan gaplek negara-negara sub tropis disuplai dari Afrika dan Amerika tropis serta Asia Tenggara. MEE, AS dan RRC merupakan “konsumen” gaplek dengan volume cukup besar.
Seharusnya Indonesia sebagai negara tropis bisa menangkap peluang ini. Namun kenyataannya kuota ekspor gaplek dan tepung tapioka kita ke MEE hampir selalu tidak bisa kita penuhi. Bebarapa kali kita terpaksa mengimpor dari Thailand untuk kita reekspor ke MEE. Hingga Thailand pun protes ke MEE agar kuota mereka dinaikkan serta Indonesia diturunkan. Masalahnya adalah, Indonesia sendiri sebagai penghasil singkong, sekaligus juga merupakan konsumen yang cukup besar pula. Industri ternak unggas kita yang maju pesat, tentu memerlukan suplai pakan yang akan cenderung makin banyak juga. Hingga kebutuhan bahan pakan ternaknya pun akan terus bertambah besar. Termasuk kebutuhan gapleknya.

Kalau dalam kehidupan modern gaplek labih banyak digunakan untuk bahan pakan ternak, maka sekarang tepung tapioka justru merupakan bahan makanan manusia yang cukup penting. Dulu, pemanfaatan tepung tapioka hanyalah untuk lem dan kanji guna mengeraskan dan melicinkan pakaian sebelum diseterika. Tetapi dalam kehidupan modern sekarang ini, penggunaan tepung tapioka terbanyak adalah untuk bahan baku gula cair (High Fructose Syrup = HFS), asam sitrat, bakso dan kerupuk.
Negara-negara maju seperti MEE, memerlukan tepung tapioka untuk menunjang industri HFS dan asam sitrat mereka. HFS dan asam sitrat merupakan bahan baku utama berbagai minuman instant yang diberi embel-embel “sari buah”. Sementara di dalam negeri, kebutuhan tepung tapioka juga terus naik sehubungan dengan tumbuhnya kebiasaan makan “mie bakso” dengan kerupuknya, serta kebiasaan menyantap singkong goreng di kakilima. Bahan utama bakso adalah tepung tapioka dan daging segar (daging yang belum dilayukan). Karenanya, meskipun industri tepung gaplek dan tapioka tumbuh di mana-mana (terutama di Lampung), namun kuota ekspor kita ke MEE tetap tidak kunjung bisa terpenuhi. Bahkan trend terakhir, harga gaplek dan tepung tapioka di dalam negeri menjadi lebih tinggi dari harga ekspor (FOB).

Kelangkaan gaplek dan tepung tapioka ini sedikit banyak juga disebabkan pula oleh turunnya minat masyarakat untuk menanam singkong. Harga singkong yang setiap panen raya antara bulan Juni, Juli dan Agustus hanya sekitar Rp 100,- (pembeli mencabut sendiri) atau Rp 200,- (pemilik melakukan pencabutan). Telah menyebabkan masyarakat enggan untuk menanam singkong. Dengan hasil rata-rata 10 ton per hektar, maka pendapatan kotor seorang petani singkong hanyalah Rp 1.000.000,- dari tiap hektar lahan mereka. Dengan mengolahnya lebih lanjut menjadi gaplek dan tepung tapioka, maka keuntungan petani akan bertambah besar. Sebab harga gaplek di tingkat petani mencapai Rp 800,- per kg. sementara tepung tapioka bisa sampai Rp 2.000,- per kg.
Dari 1 ton (1.000 kg.) singkong segar dengan harga Rp 200.000,- 10% terdiri dari kulit dan bagian yang harus dibuang. Sementara sekitar 60% adalah air. Hingga, dari 1 ton singkong segar tersebut, akan dihasilkan gaplek (berkadar air 14%) dengan bobot 440 kg. Kalau harga gaplek di tingkat petani Rp 800,- maka nilai gaplek tersebut adalah Rp 352.000,- Ongkos kupas dan jemur sekitar Rp 100.000,- hingga masih ada marjin Rp 52.000,- untuk tiap ton singkong segar. Sementara upah cabut (Rp 100.000,-) dan upah kupas serta penjemuran (juga Rp 100.000,-) sebenarnya juga dinikmati oleh para petani sendiri. Hingga keuntungan yang Rp 52.000,- per ton singkong segar tersebut merupakan nilai tambah riil yang dinikmati oleh pemilik singkong.

Kalau singkong diolah menjadi tepung tapioka, maka nilai tambahnya akan makin besar. Peralatan untuk mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka, tidak harus berupa mesin-mesin mahal. Alat pemarut kelapa yang banyak dijumpai di pasar dan warung-warung itu pun, bisa digunakan untuk mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka. Selain itu juga diperlukan alat pemeras (pengempa) dan wadah untuk mengendapkan tepung tapiokanya. Biaya investasi untuk peralatan ini diperkirakan antara Rp 5.000.000,- sampai dengan Rp 10.000.000,- yang bisa disusutkan sekitar 3 tahun. Kapasitas olahnya sekitar 1 sampai dengan 2 ton singkong segar per hari. Setelah dikupas dan digiling, diendapkan serta dijemur, dari 1 ton singkong segar itu, akan diperoleh sekitar 200 kg. tepung aci. Dengan rincian, 10% dari dari volume tersebut merupakan kulit dan pangkal serta pucuk yang harus dibuang. Sekitar 60% berupa air yang 50%nya juga akan dibuang. Dan dari 40% bahan padat tersebut, 20% akan berupa pati dan 20% ampas.
Dengan harga Rp 2.000,- per kg. nilai 200 kg. tepung aci tersebut sekarang mencapai 400.000,- ditambah dengan nilai ampas kering (untuk pakan ternak) @ Rp 100,- per kg X 200 kg menjadi Rp 20.000,- Jadi total pendapatan dari pengolahan tepung aci ini adalah Rp 400.000 + Rp 20.000,- = Rp 420.000,- Dengan ongkos prosesing Rp 150.000,- per ton singkong segar, maka masih ada marjin Rp 70.000,- yang menjadi hak pemilik singkong dan investor.

Jika dilihat sepintas, keuntungan dari memproses sigkong segar menjadi gaplek maupun pati ini relatif kecil. Tetapi singkong merupakan komoditas yang jangka waktu panennya sangat pendek. Antara bulan Juni sampai dengan Oktober (5 bulan), jutaan hektar tanaman singkong akan dibongkar untuk diambil umbinya. Hasilnya adalah jutaan ton singkong segar. Pada waktu panen raya demikian, harga singkong segar akan jatuh kurang dari Rp 100,- per kg. Upaya inilah yang mestinya harus diatasi oleh para petani sendiri dengan melakukan proses pembuatan tepung tapioka atau gaplek.
Tetapi untuk itu, para petani perlu membentuk kelompok. Kemudian mereka juga perlu modal untuk membeli singkong secara cash ke petani dan menunggu proses pembuatan aci serta proses pemasarannya yang akan makan waktu antara 2 sampai dengan 3 bulan. Kalau dalam satu kelompok beranggotakan 30 orang ada 1.000 ton singkong segar, maka diperlukan modal untuk pembelian singkong senilai Rp 100.000.000,- Dalam kurun waktu 2 bulan (6 hari kerja dalam seminggu) para petani anggota kelompok itu harus bekerja mencabut singkong, mengupas, menggiling, memeras, mengendapkan tepung dan menjemurnya dengan upah sekitar Rp 10.000,- per hari. Berarti diperlukan modal kerja sekitar Rp 180.000.000,- Modal investasi diperkirakan paling banyak Rp 20.000.000,- Hingga keperluan modal adalah Rp 300.000.000,-

Dari 1.000 ton singkong tersebut, akan diperoleh 200 ton tepung tapioka dengan nilai Rp 2.000.000,- per ton. Atau total pendapatannya Rp 400.000.000,- Berarti masih ada marjin sekitar Rp 100.000.000,- yang akan dinikmati oleh kelompok tani tersebut. Selain itu para petani juga bisa bekerja dengan nilai upah mencapai Rp 180.000,- dalam kurun waktu sekitar 2 bulan pada waktu panen singkong. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang harus menyediakan (memberi pinjaman) senilai Rp 300.000.000,- tersebut? Seandainya pinjaman itu diperoleh dari bank, tentunya bank akan meminta koleteral.
Sebenarnya para petani tersebut bisa mengajukan singkong yang hasil akhirnya akan menjadi tepung tapioka tersebut sebagai koleteral. Tetapi koleteral demikian tentu akan ditolak oleh bank. Sebab bank biasanya minta koleteral berupa tanah atau tanah dengan bangunan, kendaraan, emas dan lain-lain yang mudah diuangkan kembali. Jaminan berupa raw material dan tepung tapioka masih tidak lazim bagi kalangan perbankan di Indonesia. Padahal, jaminan ini juga relatif mudah diuangkan. Dan dari hitung-hitungan kasar yang ada, proses mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka relatif menguntungkan. Sebab kalau tidak menguntungkan, bagaimana mungkin Gunung Sewu Grup, Astra dan lain-lain konglomerat papan atas Indonesia tertarik untuk menangani singkong segar menjadi tapioka? (F.R.) * * *
http://kebun-singkong.blogspot.com/2009/04/memproduksi-gaplek-dan-pati-singkong.html

Pabrik tepung ketela pohon

Gunung Kidul (ANTARA News) - Pabrik tepung ketela pohon di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak mampu menampung seluruh hasil panen petani di wilayah setempat.

Kepala Badan Pelaksanaan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP) Kabupaten Gunung Kidul Azman Latif di Gunung Kidul, Senin, mengatakan pabrik ketela pohon yang ada hanya mampu memproduksi satu ton per hari, sedangkan total hasil panen ketela petani mencapai satu juta ton per tahun.

"Pada 2010, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mendapat bantuan peralatan canggih untuk mengolah ketela pohon dari Kementerian Pertanian, tetapi tidak mampu menampung ketela pohon dari petani Gunung Kidul," kata Azman.

Dia mengatakan peralatan bantauan dari Kementerian Pertanian berupa alat pengupas ketela hingga alat pembuat tepung saat ini dikelola oleh masyarakat secara mandiri.

"Pabrik ini baru beroperasi sekitar dua tahun, sehingga belum mampu memproduksi tepung secara maksimal," kata dia.

Menurut dia, kendala utama produksi tepung ketela pohon yakni minimnya ketersediaan air pada musim kemarau. Padahal, produksi tepung ketela membutuhkan air dengan jumlah relatif cukup.

"Minimnya ketersediaan air sebagai sarana pendukung produksi menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul. Ketersediaan air memang menjadi masalah utama seluruh pabrik di Gunung Kidul," kata dia.

Ia mengatakan pabrik tepung ketela pohon dibutuhkan di Gunung Kidul.

Selama ini, ketela pohon hanya dibuat gaplek dan dibuat pakan ternak, sehingga, petani tidak memiliki tambahan pendapatan dari hasil panen mereka.

"Pada saat panen raya, harga gaplek berkisar Rp200 hingga Rp300 per kilogram, sementara ketela yang belum diolah sebesar Rp800 hingga Rp1.200. Harga ini sangat murah, tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani di Gunung Kidul," katanya.

Dia mengatakan hasil produksi ketela pohon di Gunung Kidul mencapai satu juta ton dalam satu tahun dengan luasan lahan tanaman mencapai 55.000 hektare.

Hampir seluruh petani Gunung Kidul menanami lahan tegalan, pekarangan, dan persawahan dengan ketela pohon.

Dia mengatakan jumlah produksi ketela di Gunung Kidul setiap tahun mengalami peningkatan.

Dari produksi satu juta ketela tak lebih dari 40 persen yang dimanfaatkan untuk bahan baku tepung, sedangkan sisanya dibuat gaplek.

"Pada dasarnya, jika ada investor pengolahan ketela pohon menjadi tepung atau bahan baku lainnya maka nilai jual ketela tingkat petani semakin tinggi. Dampaknya akan meningkatkan kesejahteraan petani di Gunung Kidul," katanya. (STR/M029) 
http://www.antaranews.com/berita/357656/pabrik-tepung-tak-mampu-tampung-panenan-ketela-petani-gunung-kidul

pabrik tapioka

PT Wira Jatim Group, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provisi Jawa Timur, akan membangun p abrik tepung Tapioka di Desa Margosuko, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban.
Pabrik tepung PT Cassava Buana Wira Jatim dibangun di atas lahan seluas 10 hektar di Jalan Raya Bancar Tuba menuju Rembang, Jawa Tengah.
Konsep pembangunan pabrik tapioka tanpa menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Jatim. Menurut Presiden Direktur Wira Jatim Group, Arif Aff andi di Surabaya, Rabu (7/3), k apasitas produksi pabrik sekitar 37.500 ton tepung per tahun.
Produk tapioka dipasok untuk memenuhi kebutuhan PT Cheil Jedang Indonesia di Pasuruan yang memerlukan sekitar 850 .000 ton per per tahun. Memang masih banyak kekurangan, dan selama ini diimpor dari Vietnam, Kamboja, Laos dan Thailand .
Menurut Arif, PT Cassava Buana Wira Jatim telah memiliki tanaman singkong seluas 2.000 hektar. Lahan milik rakyat dan Perhutani itu tersebar di Kabuparten Gresik, Tuban, Bojonegoro dan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kendati demikian pabrik masih membutuhkan pasokan singkong dari masyarakat. Setiap hari harus tersedia minimal 500 ton singkong untuk digiling.
Kendati pabrik belum beroperasi, respon dan harapan masyarakat cukup besar. Bahkan warga Desa Demit, Kecamatan Jotirogo sudah mulai menanam singkong, karena hasilnya menjanjikan.
Sedangkan lahan di Gresik, melibatkan kalangan Pondok Pesantren untuk menanam singkong. Paling tidak dengan keberadaan pabrik tapioka, sekitar 2 .000 tenaga kerja akan terserap belum termasuk petani yang secara mandiri mengembangkan lahannya untuk ditanami singkong .
Pimpinan Wilayah PT Bank Himpunan Saudara 1906 Arianto hartoyo mengatakan, pendirian pabrik hingga beroperasi dibiayai melalui pengucuran k redit investasi sebesar Rp 29 miliar.
“Pemberian kredit sudah melaui proses berdasarkan ketetuan ananila kredit dan risiko. Proyek ini layak dan aman karena 100 persen saham milik Pemprov Jatim,” katanya. kompas.com
http://bappeda.jatimprov.go.id/2012/03/08/wira-jatim-bangun-pabrik-tapioka/

Penemu tepung Gaplek

i tangan Achmad Subagio, tepung gaplek (tepung dari ubi kayu) yang minim manfaat, berhasil dimodifikasi menjadi kaya manfaat. Doktor ahli kimia pangan itu pun telah mempresentasikan temuannya tersebut di dunia internasional dan telah diakui.
-------------
Jika menghubungi nomor telepon rumahnya di Jl Tawang Mangu, Jember, akan terdengar mesin penjawab berbahasa Jepang. Subagio memang lulusan Jepang. Dia menyelesaikan S-2 dan S-3-nya di Osaka Perfecture University di Negeri Sakura tersebut.
Mengapa tertarik meneliti tepung gaplek? Menurut dosen di Fakultas Teknologi Hasil Pertanian di Universitas Jember itu, tepung gaplek atau tepung singkong selama ini dikesankan inferior. "Kesannya selama ini, kalau orang sampai makan gaplek itu kok miskin banget," kata pria 39 tahun itu.
Padahal, lanjut Subagio, singkong adalah tanaman yang sangat banyak di Indonesia. "Bahkan, menurut data FAO (lembaga PBB yang membidangi masalah pangan) 2004, Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar di dunia setelah lima negara lain," katanya.
Karena itu, singkong sebenarnya bisa menjadi alternatif bahan pangan ketika terjadi krisis pangan. "Tapi, orang telanjur lekat dengan kesan bahwa kalau makan tepung gaplek itu ndeso banget," tandasnya.
Dari sinilah lantas muncul tekad Subagio untuk mengembalikan kejayaan singkong sebagai bahan makanan asli Indonesia.
Sejak itulah Subagio mulai meneliti tepung gaplek pada 2004. "Saya mulai meneliti ketika berada di Belanda, mengikuti training tentang food safety tiga bulan," ceritanya. Dari Belanda, Subagio melanjutkan training ke Inggris, tepatnya di sebuah kota dekat Liverpool. "Di Inggris, saya mempelajari bagaimana mengemas sebuah produk baru yang selanjutnya saya terapkan untuk produk baru modifikasi dari tepung gaplek," katanya.
Setelah setahun meneliti, akhirnya Subagio berhasil memodifikasi tepung gaplek menjadi bahan yang kaya manfaat. Temuannya diberi nama Modified Cassava Flour (Mocal), yakni tepung ubi kayu termodifikasi.
Apa bedanya dengan tepung gaplek? Subagio menerangkan, tepung gaplek, pembuatannya lebih sederhana. Yakni, ubi kayu dikeringkan, lalu digiling menjadi tepung. "Kalau Mocal, melalui beberapa proses kimia," katanya. Di antaranya, ubi kayu difermentasikan dulu. "Difermentasikan di sini bukan berarti dibuat tape lho," katanya. Setelah itu, dikeringkan. Mengeringkannya, 3/4 menggunakan matahari. "Kita juga menggunakan alat pengering hibrida agar terjamin hieginitasnya," katanya.
Setelah dikeringkan, ubi ketela itu akan berbentuk chips (seperti keripik). Selanjutnya, baru digiling, diayak (disaring), dikemas menjadi produk tepung serbaguna.
"Bedanya dengan tepung gaplek, kalau tepung gaplek bau ketelanya masih dominan sehingga kadang baunya apek," katanya. "Tapi, tepung Mocal kami cita rasa ketelanya hampir nggak ada. Sekitar 70 persen rasa singkongnya hilang," jelas pria yang juga berhasil meneliti koro sebagai pengganti kedelai dan telah diterapkan di Afrika Selatan itu.
Berkat proses kimia yang diterapkan pada Mocal, Subagio berhasil menjadikan tepung gaplek memiliki tingkat viskositas (kekentalan) dan tingkat elastisitas adonan yang tinggi. "Kalau tepung gaplek itu tidak bisa dijadikan bahan pembuatan kue, tepung Mocal buatan kami bisa," kata bapak satu anak itu.
Kini Subagio mengaku mulai kewalahan menerima pesanan dari sejumlah industri pembuat kue. "Menggunakan tepung Mocal memang lebih rendah biayanya ketimbang tepung terigu," katanya. Sebagai perbandingan, harga tepung terigu sekitar Rp 4.600 per kilogram. Tepung Mocal sekitar Rp 3.200 per kilogram. "Kandungan karbohidrat tepung Mocal juga lebih tinggi dari tepung terigu," lanjutnya. (wisnu priyono/jpnn/kum). (batampos.co.id)

Peluang usaha Tepung Singkong

eluang Usaha Bisnis Tepung Singkong Gaplek.  Saat ini tepung gaplek termasuk barang yang ( most wanted ) paling di cari nomor dua setelah tepung gandum . Sekitar 60% pasar belum bisa di penuhi oleh produsen tepung gaplek . Usaha tepung gaplek ini tergolong relatif mudah karena bahan bakunya mudah , tidak ribet dalam pengolahan  dan proses produksinya . Tepung gaplek masih mempunyai pangsa pasar yang bagus . Yang di perlukan dalam bisnis ini adalah lahan untuk pengeringan dan gudang , mesing pengiling gaplek dan bahan packaging.

Untuk Produksinya di bagi menjadai 2 Jenis :
1.  Tepung Kualitas A , Yaitu : Tepung yang berkualitas standart paling baik , biasanya digunakan untuk keperluan industri food ( makanan manusia . Tepung Kualitas A , diambil dari singkong sehat dengan ciri2 singlong benar2 bersih , segar , warna dalamnya putih cerah.  Tepung kualitas A harga dipasaran berkisar Rp 2100 - 2500 / Kg .
2. Tepung Kualitas B , Yaitu : Tepung yang berkualitas rendah , yang biasa di gunakan untuk campuran pakan ternak . Tepung Kualitas B di ambil dari sisa - sisa produksi tepung kualitas A . Jadi warna singkong kurang cerah , dan baunya kurang segar . Tepung kualitas B di psarkan dengan harga Rp 1400 - 1600 / Kg .
Bahan Baku
Untuk pengadaan bahan baku biasanya daerah pemasoknya ,Jawa Tengah adalah Gemolong , Sragen . Untuk Wilayah alternatif yaitu Mantingan , Ngawi dan Wonogiri . Tepung didapat dari para pengepul dan pemasaran juga bisa dilewatkan para pengepul gaplek juga .  Berapa harga bahan baku tepung gaplek ini ? Harga gaplek biasanya sudah di gabung dengan biaya transportasi . Per kilonya Rp 450  - 700 . Keuntungan bersihnya setelah produksi 20% . Jadi jika perhari ada 1 ton dengan harga jual rendah Rp 2100/kg , maka pendapatan perhari Rp 420.000 .  Wilayah pemasaran yang berskala besar adalah : Surabaya , Malang , Tegal dan Semarang .
Kendala Dalam Bisnis Tepung Gaplek
Kendalanya adalah pada waktu musim penghujan . Karena idelanya singkong kering harus di jemur dalam sinar matahari selama 3 hari . Jadi kalo di musim penghujan bisa molor hingga satu minggu . Sarannya : Pembelian gaplek dari pengepul harus yang sudah kering dan sudah di kupas . Sehingga sebelum di giling tinggal jemur sebentar . Ciri singkong kering / gaplek yang bagus adalah warna daging dalamnya putih bersih dan jika dipatahkan akan berbunyi kress , renyah .

Tepung Gaplek

Mocaf adalah modified casava flour.Dalam bahasa pasaran dikenal dengan tepung singkong fermentasi.Dalam sehari - hari kita kenal dengan tepung kasava fermentasi.Tepung ini berasal dari singkong.Salah satu varian tepung yang berasal dari ubikayu ini  sangat luas penggunaannya.
Akhir - akhir ini industri tepung  mocaf mulai tumbuh baik di Kabupaten Wonogiri.Khususnya di Dusun Geneng Desa Tambakmerang Kecamatan Girimarto ,pembuatan tepung mocaf sudah dilakukan sejak tahun 2008 silam.

Untuk saat ini, penggunaan tepung mocaf sudah masuk pada industri skala rakyat.seperti pembuatan  kue brownies, kue bolu ,kerupuk ,cookies, aneka snack dan lai-lain.
Dengan harga yang sangat murah , diharapkan tepung mocaf benar-benar akan mampu penggunaan tepung terigu.Harga tepung mocaf saat ini bervariasi. Untuk yang kualitas premium ( A ) kami jual dengan harga Rp.4.500,- per kg.Sedangkan untuk Kualitas Biasa ( B ) kami jual dengan harga Rp.4.200,-.

saat musim hujan adalah saat  paling mahal untuk harga tepung mocaf.Selain karena langkanya singkong sebagai bahan utama pembuatan tepung mocaf,juga karena cuaca hujan  yang membuat waktu proses pengeringan tepung menjadi lama .
Bila anda tertarik dengan tepung mokaf, Anda bisa mendapatkan tepung mokaf dengan kualitas sesuai dengan produk yang akan anda buat.

Ekportir Gaplek



Menurut kebiasaan, setiap 1 kg. gaplek dihasilkan oleh 2,5 kg. singkong basah, kalau panen singkong anda dihargai Rp. 600,- oleh kapitalis curang, ditambah biaya operasional menjadikan gaplek sekitar Rp. 500,-, maka nilai singkong anda jadi Rp. 2.000,- dalam bentuk gaplek. Padahal kalau anda jual dalam bentuk gaplek, akan diterima dengan harga maksimal Rp. 2.500,-, itu pun kalau nggak di potong-potong lagi. Memang masih ada untung jika kita menjualnya dalam bentuk gaplek, tapi tentu tidak semua petani memiliki kemampuan untuk membuat gaplek sesuai kriteria yang di tetapkan untuk harga tersebut.
Menghitung manfaat yang diterima petani dari menanam singkong, hanya akan meninggalkan handuk yang basah oleh air mata. Bahasan ini sebaiknya dimulai dari kenapa aku menggunakan istilah kapitalis curang. Di suatu daerah, sebuah perusahaan penampung singkong menetapkan harga beli ke petani sebesar Rp. 1.350,-, ketika beberapa petani bergabung untuk mempercayakan seseorang diantara mereka berangkat menempuh jarak hampir 60 km. untuk menjual hasil panen singkongnya, harapan mereka tentu akan menerima sejumlah uang hasil panen yang cukup memadai (untuk ukuran petani), tapi nyatanya setelah sampai di tempat penjualan, harga singkong yang Rp. 1.350,- itu masih harus dikenakan potongan-potongan sampai akhirnya hanya tinggal Rp. 600,- per kg. yang di terima petani. Hebaaaatttt……………!!!!
Kejadian tersebut tidak hanya dialami oleh komoditi singkong, tapi hampir di semua komoditi pertanian. Lain kali saja aku tulis yang dialami komoditi lain, sekarang aku bahas singkong aja dulu. Yang jadi pertanyaan sekarang, berapa gaplek laku di pasaran atas? lantas kemana saja gaplek itu di jual?.
Menurut sumber yang bisa dipercaya, gaplek kalau di ekspor ke China atau Korea bisa laku hingga Rp. 2.900,-, woooouuwww…. keren..!!! kenapa petani yang “nekat” memproses singkong menjadi gaplek cuma kebagian harga maksimal Rp. 2.500? bahkan kalau mau di hitung lebih njelimet, harga jual bersihnya cuma Rp. 2.300,-, karena harga Rp. 2.500,- belum kepotong ongkos kirim, ongkos kuli dan rafaksi.
Teknologi Aminofert (http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2012/09/19/lowongan-pekerjaan/), mencoba membuat solusinya dengan peningkatan hasil produksi, yang biasanya perhektar hanya menghasilkan antara 20-30 ton, dengan teknologi tersebut meningkat hingga 50-80 ton per hektar.
Peningkatan kuantitas panen sebetulnya sudah cukup dapat menutup kerugian-kerugian petani singkong, tapi ya itu? biasanya nantinya pasar akan bergolak sedemikian rupa hingga posisi petani akan kembali seperti ketika hanya mampu panen 20-30 ton per hektar, dan selalu akan seperti itu, dan selalu “hukum” ekonomi tentang demand & supply jadi alasan paling dibanggakan. Sialan bener tuh hukum..!!!
—–
Beberapa waktu yang lalu, aku diminta oleh seorang eksportir untuk menjual gaplek, aku bilang, “Sepertinya kami akan memproses gaplek kami menjadi tepung, kalau anda mau beli produk kami, belilah dalam bentuk tepung”, dan mereka cuma mencibir saja.
Aku mulai coba meraba lebih lebar lagi permasalahan ini. Dalam pemikiran sederhana dari orang segoblog aku ini, aku bayangkan, kalau Indonesia nggak mau jual gaplek ke asing, matilah banyak perusahaan di China dan Korea yang berbahan baku gaplek. Nah, untuk mencegah itu, tentu para agen mereka di Indonesia akan mati-matian menekan harga singkong basah, sedikit memberi keuntungan di penjualan gaplek, tapi menghancurkan industri-industri kecil pengolah tepung singkong. Anehnya, yang aku pikirkanitu sudah benar-benar terjadi.
Hadeeeeehhhh…… jadi pusing, gimana ya solusinya?
———
Kelak, jika teknologi Aminofert ini berkembang, alangkah idealnya kalau :
  1. Pemerintah mengurangi secara besar-besaran, import tepung terigu
  2. Pemerintah mendorong pembangunan pabrik-pabrik pembuat tepung singkong dan mocaf (pengganti tepung terigu)
  3. Gaplek dilarang untuk di ekspor.
Kalau anda ingin jelas lagi, mengapa singkong sangat menarik, silahkan nyari tahu ke mbah Google.
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2012/09/20/kenapa-jual-gaplek-488596.html