Di pasar internasional, gaplek dikenal dengan nama dagang casava.
Sementara pati singkong (tepung aci, tepung kanji) disebut sebagai
tapioka. Masyarakat Jakarta malahan menyebut tepung aci ini sebagai
“sagu”. Padahal jelas sekali perbedaan antara tepung sagu dengan pati
singkong. Yang disebut gaplek adalah singkong (ketela pohon, ubi kayu =
Manihot esculenta/Manihot utillisima) yang telah dikupas dan
dikeringkan. Biasanya pengupasan dilakukan secara manual dengan pisau
dan tangan. Sementara pengeringannya dilakukan dengan cara menjemurnya
langsung di bawah panas matahari.
Tepung tapioka adalah pati
singkong. Pati ini diperoleh melalui penghancuran singkong segar,
pelarutan dengan air, pemerasan, pengendapan pati dan pengeringan.
Masyarakat tradisional melakukan proses ini secara manual dengan
mengupas singkong, memarutnya, memberinya air, memeras lalu mengendapkan
air perasan hingga diperoleh pati yang kemudian dijemur sampai kering.
Meskipun
singkong berasal dari Amerika tropis dan baru ditanam di Indonesia
setelah kedatangan bangsa kulit putih, namun pengembangan dan
pemanfaatannya sudah demikian luas. Di Jawa Tengah, terutama di
kawasan-kawasan yang kering, gaplek merupakan komoditas pangan yang
penting. Tepung gaplek yang diberi air dan dikukus akan menjadi tiwul,
yang oleh sebagian masyarakat dijadikan makanan pokok. Apabila proses
pengeringan gaplek tidak sempurna hingga berjamur (sebagian berwarna
hitam dan cokelat) maka akan diperoleh komoditas yang dikenal sebagai
“gatot”. Selain ditepungkan untuk bahan tiwul, gatot juga bisa direndam,
dijadikan serpih kecil-kecil secara manual dan dikukus untuk langsung
dikonsumsi.
Selain lebih lezat, gatot juga bergizi lebih baik
karena jamur (kapang) yang merusak pati singkong tersebut justru
menghasilkan protein dan asam amino yang sebelumnya tidak terdapat pada
singkong. Proses pembuatan gatot sedikit lebih rumit dibandingkan dengan
gaplek. Singkong yang telah dikupas, dijemur sebentar untuk mematikan
sel-sel (jaringannya) tetapi jangan sampai kering. Biasanya penjemuran
cukup dilakukan selama sehari sampai dua hari. Selanjutnya singkong
diperam dalam wadah yang tertutup rapat sampai berjamur. Setelah itu
singkong dijemur lagi sampai kering untuk disimpan sebagai gatot.
Dalam
masyarakat modern, tepung casava adalah bahan pakan ternak yang cukup
penting, terutama untuk ternak unggas. Bersamaan dengan jagung, bungkil,
dedak, dan tepung ikan, gaplek merupakan bahan utama pakan unggas dan
juga ternak ruminansia serta babi. Fungsi gaplek adalah sebagai sumber
serat dan karbohidrat bermutu namun harganya murah. Karena singkong
hanya bisa ditanam di kawasan tropis, maka kebutuhan gaplek
negara-negara sub tropis disuplai dari Afrika dan Amerika tropis serta
Asia Tenggara. MEE, AS dan RRC merupakan “konsumen” gaplek dengan volume
cukup besar.
Seharusnya Indonesia sebagai negara tropis bisa
menangkap peluang ini. Namun kenyataannya kuota ekspor gaplek dan tepung
tapioka kita ke MEE hampir selalu tidak bisa kita penuhi. Bebarapa kali
kita terpaksa mengimpor dari Thailand untuk kita reekspor ke MEE.
Hingga Thailand pun protes ke MEE agar kuota mereka dinaikkan serta
Indonesia diturunkan. Masalahnya adalah, Indonesia sendiri sebagai
penghasil singkong, sekaligus juga merupakan konsumen yang cukup besar
pula. Industri ternak unggas kita yang maju pesat, tentu memerlukan
suplai pakan yang akan cenderung makin banyak juga. Hingga kebutuhan
bahan pakan ternaknya pun akan terus bertambah besar. Termasuk kebutuhan
gapleknya.
Kalau dalam kehidupan modern gaplek labih
banyak digunakan untuk bahan pakan ternak, maka sekarang tepung tapioka
justru merupakan bahan makanan manusia yang cukup penting. Dulu,
pemanfaatan tepung tapioka hanyalah untuk lem dan kanji guna mengeraskan
dan melicinkan pakaian sebelum diseterika. Tetapi dalam kehidupan
modern sekarang ini, penggunaan tepung tapioka terbanyak adalah untuk
bahan baku gula cair (High Fructose Syrup = HFS), asam sitrat, bakso dan
kerupuk.
Negara-negara maju seperti MEE, memerlukan tepung
tapioka untuk menunjang industri HFS dan asam sitrat mereka. HFS dan
asam sitrat merupakan bahan baku utama berbagai minuman instant yang
diberi embel-embel “sari buah”. Sementara di dalam negeri, kebutuhan
tepung tapioka juga terus naik sehubungan dengan tumbuhnya kebiasaan
makan “mie bakso” dengan kerupuknya, serta kebiasaan menyantap singkong
goreng di kakilima. Bahan utama bakso adalah tepung tapioka dan daging
segar (daging yang belum dilayukan). Karenanya, meskipun industri tepung
gaplek dan tapioka tumbuh di mana-mana (terutama di Lampung), namun
kuota ekspor kita ke MEE tetap tidak kunjung bisa terpenuhi. Bahkan
trend terakhir, harga gaplek dan tepung tapioka di dalam negeri menjadi
lebih tinggi dari harga ekspor (FOB).
Kelangkaan gaplek
dan tepung tapioka ini sedikit banyak juga disebabkan pula oleh turunnya
minat masyarakat untuk menanam singkong. Harga singkong yang setiap
panen raya antara bulan Juni, Juli dan Agustus hanya sekitar Rp 100,-
(pembeli mencabut sendiri) atau Rp 200,- (pemilik melakukan pencabutan).
Telah menyebabkan masyarakat enggan untuk menanam singkong. Dengan
hasil rata-rata 10 ton per hektar, maka pendapatan kotor seorang petani
singkong hanyalah Rp 1.000.000,- dari tiap hektar lahan mereka. Dengan
mengolahnya lebih lanjut menjadi gaplek dan tepung tapioka, maka
keuntungan petani akan bertambah besar. Sebab harga gaplek di tingkat
petani mencapai Rp 800,- per kg. sementara tepung tapioka bisa sampai Rp
2.000,- per kg.
Dari 1 ton (1.000 kg.) singkong segar dengan
harga Rp 200.000,- 10% terdiri dari kulit dan bagian yang harus dibuang.
Sementara sekitar 60% adalah air. Hingga, dari 1 ton singkong segar
tersebut, akan dihasilkan gaplek (berkadar air 14%) dengan bobot 440
kg. Kalau harga gaplek di tingkat petani Rp 800,- maka nilai gaplek
tersebut adalah Rp 352.000,- Ongkos kupas dan jemur sekitar Rp 100.000,-
hingga masih ada marjin Rp 52.000,- untuk tiap ton singkong segar.
Sementara upah cabut (Rp 100.000,-) dan upah kupas serta penjemuran
(juga Rp 100.000,-) sebenarnya juga dinikmati oleh para petani sendiri.
Hingga keuntungan yang Rp 52.000,- per ton singkong segar tersebut
merupakan nilai tambah riil yang dinikmati oleh pemilik singkong.
Kalau
singkong diolah menjadi tepung tapioka, maka nilai tambahnya akan makin
besar. Peralatan untuk mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka,
tidak harus berupa mesin-mesin mahal. Alat pemarut kelapa yang banyak
dijumpai di pasar dan warung-warung itu pun, bisa digunakan untuk
mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka. Selain itu juga
diperlukan alat pemeras (pengempa) dan wadah untuk mengendapkan tepung
tapiokanya. Biaya investasi untuk peralatan ini diperkirakan antara Rp
5.000.000,- sampai dengan Rp 10.000.000,- yang bisa disusutkan sekitar 3
tahun. Kapasitas olahnya sekitar 1 sampai dengan 2 ton singkong segar
per hari. Setelah dikupas dan digiling, diendapkan serta dijemur, dari 1
ton singkong segar itu, akan diperoleh sekitar 200 kg. tepung aci.
Dengan rincian, 10% dari dari volume tersebut merupakan kulit dan
pangkal serta pucuk yang harus dibuang. Sekitar 60% berupa air yang
50%nya juga akan dibuang. Dan dari 40% bahan padat tersebut, 20% akan
berupa pati dan 20% ampas.
Dengan harga Rp 2.000,- per kg.
nilai 200 kg. tepung aci tersebut sekarang mencapai 400.000,- ditambah
dengan nilai ampas kering (untuk pakan ternak) @ Rp 100,- per kg X 200
kg menjadi Rp 20.000,- Jadi total pendapatan dari pengolahan tepung aci
ini adalah Rp 400.000 + Rp 20.000,- = Rp 420.000,- Dengan ongkos
prosesing Rp 150.000,- per ton singkong segar, maka masih ada marjin Rp
70.000,- yang menjadi hak pemilik singkong dan investor.
Jika
dilihat sepintas, keuntungan dari memproses sigkong segar menjadi
gaplek maupun pati ini relatif kecil. Tetapi singkong merupakan
komoditas yang jangka waktu panennya sangat pendek. Antara bulan Juni
sampai dengan Oktober (5 bulan), jutaan hektar tanaman singkong akan
dibongkar untuk diambil umbinya. Hasilnya adalah jutaan ton singkong
segar. Pada waktu panen raya demikian, harga singkong segar akan jatuh
kurang dari Rp 100,- per kg. Upaya inilah yang mestinya harus diatasi
oleh para petani sendiri dengan melakukan proses pembuatan tepung
tapioka atau gaplek.
Tetapi untuk itu, para petani perlu
membentuk kelompok. Kemudian mereka juga perlu modal untuk membeli
singkong secara cash ke petani dan menunggu proses pembuatan aci serta
proses pemasarannya yang akan makan waktu antara 2 sampai dengan 3
bulan. Kalau dalam satu kelompok beranggotakan 30 orang ada 1.000 ton
singkong segar, maka diperlukan modal untuk pembelian singkong senilai
Rp 100.000.000,- Dalam kurun waktu 2 bulan (6 hari kerja dalam seminggu)
para petani anggota kelompok itu harus bekerja mencabut singkong,
mengupas, menggiling, memeras, mengendapkan tepung dan menjemurnya
dengan upah sekitar Rp 10.000,- per hari. Berarti diperlukan modal kerja
sekitar Rp 180.000.000,- Modal investasi diperkirakan paling banyak Rp
20.000.000,- Hingga keperluan modal adalah Rp 300.000.000,-
Dari
1.000 ton singkong tersebut, akan diperoleh 200 ton tepung tapioka
dengan nilai Rp 2.000.000,- per ton. Atau total pendapatannya Rp
400.000.000,- Berarti masih ada marjin sekitar Rp 100.000.000,- yang
akan dinikmati oleh kelompok tani tersebut. Selain itu para petani juga
bisa bekerja dengan nilai upah mencapai Rp 180.000,- dalam kurun waktu
sekitar 2 bulan pada waktu panen singkong. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah, siapa yang harus menyediakan (memberi pinjaman) senilai Rp
300.000.000,- tersebut? Seandainya pinjaman itu diperoleh dari bank,
tentunya bank akan meminta koleteral.
Sebenarnya para petani
tersebut bisa mengajukan singkong yang hasil akhirnya akan menjadi
tepung tapioka tersebut sebagai koleteral. Tetapi koleteral demikian
tentu akan ditolak oleh bank. Sebab bank biasanya minta koleteral berupa
tanah atau tanah dengan bangunan, kendaraan, emas dan lain-lain yang
mudah diuangkan kembali. Jaminan berupa raw material dan tepung tapioka
masih tidak lazim bagi kalangan perbankan di Indonesia. Padahal, jaminan
ini juga relatif mudah diuangkan. Dan dari hitung-hitungan kasar yang
ada, proses mengolah singkong segar menjadi tepung tapioka relatif
menguntungkan. Sebab kalau tidak menguntungkan, bagaimana mungkin Gunung
Sewu Grup, Astra dan lain-lain konglomerat papan atas Indonesia
tertarik untuk menangani singkong segar menjadi tapioka? (F.R.) * * *
http://kebun-singkong.blogspot.com/2009/04/memproduksi-gaplek-dan-pati-singkong.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar